(Hanacaraka: ꦑꦸꦛꦯꦸꦫꦏꦂꦠ), juga disebut Solo atau Sala (ꦱꦭ), adalah wilayah
otonom dengan status kota di bawah Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, dengan
penduduk 503.421 jiwa (2010) dan kepadatan 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2,
ini berbatasan dengan Kabupaten
Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.
Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.
Bersama dengan
Yogyakarta, Surakarta merupakan pewaris Kesultanan Mataram yang dipecah melalui
Perjanjian Giyanti, pada tahun 1755. Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo.
Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi" (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasar kliwon)
Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi" (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasar kliwon)
"Sala" adalah
satu dari tiga dusun yang dipilih oleh Sunan Pakubuwana II atas saran dari
Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda
J.A.B. van Hohendorff, ketika akan mendirikan istana baru, setelah perang sukse
Mataram terjadi di Kartasura.
Pada masa sekarang, nama
Surakarta digunakan dalam situasi formal-pemerintahan, sedangkan nama Sala/Solo lebih
merujuk kepada penyebutan umum yang dilatarbelakangi oleh aspek kultural.
Kata sura dalam Bahasa Jawa berarti "keberanian"
dan karta berarti "makmur", sebagai sebuah harapan
kepada Yang Maha Kuasa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan
permainan kata dari Kartasura. Kata sala, nama yang dipakai untuk
desa tempat istana baru dibangun, adalah nama pohon suci asal India, yaitu
pohon sala (Couroupita guianensis atau Shorea robusta)
Ketika Indonesia masih
menganut Ejaan van Ophuvsen, nama kota ini ditulis Soerakarta.
Dalam aksara Jawa modern, ditulis ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ atau ꦯꦸꦫꦑꦂꦡ. Nama
"Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat
pemerintahan baru Mataram. Namun, sejumlah catatan lama menyebut, bentuk antara
"Salakarta"
No comments:
Post a Comment