Pada tahun Kerusuhan Mei
1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan
rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan kota
Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi
sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara
lain Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa.
Mobil-mobil di jalanan dibakar
dan dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading,
Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa.
Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan
pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga
penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula
hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank
dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang
Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya
dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi.
Pada Jumat 15 Mei, aksi
perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat
dikejutkan oleh asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak.
Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah
tempat yang semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya
disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta
puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap
kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan. Kerusuhan
kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang
pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir semua
toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’,
sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan
hingga pembakaran. Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak
toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari
hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan
massa.
Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi.
Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku
kerusuhan adalah sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka
berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan
provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua orang itu
menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12
Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru
diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban
jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah
dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa.
Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam
bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di
Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko,
swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa,
mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur.
Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing
Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di
plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total
kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar, sementara sumber lain memperkirakan
kerugian mencapai 600 miliar.
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota
mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor
bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko
Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar
Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah
toko kecil. Pascatragedi tersebut, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di
beberapa wilayah Kota Solo juga tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa
ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih
rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara
arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini menjadi
tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal
di mulut gang-gang kampung.
Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. Data kerusuhan Mei 1998 di Solo kurang lebih ada 1209 bangunan baik itu toko, mall, hotel, perkantoran dlsb yang terkena amukan massa.
Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. Data kerusuhan Mei 1998 di Solo kurang lebih ada 1209 bangunan baik itu toko, mall, hotel, perkantoran dlsb yang terkena amukan massa.
No comments:
Post a Comment