Monday, November 9, 2015

SURAKARTA MASA PERKEMBANGAN



Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742.  Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan
untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru.


Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama) menyebut bentuk antara "Salakarta" Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya). Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.

Perkembangan Solo sebagai kota pariwisata memiliki sejarah yang panjang. Pada awal abad ke-19, kota Solo telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan industri sekaligus sebagai pusat perdagangan kaum boemipoetra. Surakarta dikenal sebagai wilayah Vorstlanden, yang memiliki dua pusat kekuasaan, yakni Mangkunegaran dan Kasunanan. Kota Solo berkembang menjadi daerah tujuan wisata bagi orang-orang kulit putih yang terdiri dari pengusaha-pengusaha Eropa yang memiliki modal di perkebunan Vorstenlanden. Solo mulai berkembang menjadi kota plesiran yang membuat para pengusaha mulai melirik kota ini sebagai lahan investasi. Mereka berlomba-lomba membangun hotel-hotel dan fasilitas penunjang wisata lainnya.
Meskipun telah sejak lama dikenal sebagai kota pariwisata, tetapi nama Solo sebagai sebuah destinasi wisata berada jauh di belakang Bali dan Yogyakarta. Hal ini diperparah dengan krisis ekonomi yang diikuti dengan kerusuhan Mei 1998 dan Oktober 1999 yang membuat kondisi ekonomi dan pariwisata Solo terpuruk. Pada tahun 2005, pucuk kepemimpinan kota berpindah tangan, dari Slamet Suryanto kepada Joko Widodo (Jokowi). Pada saat itulah era baru pengelolaan pariwisata  Solo dimulai.  Jokowi melakukan sejumlah perubahan di berbagai bidang, termasuk di bidang pariwisata.

No comments:

Post a Comment